Senin, 14 Januari 2013

Peninggalan Blanda Di Sarmaikrang










Museum traktor di Kampung Sarmakrang Distrik Nimboran saksi bisu kejayaan cokelat.

Jubi— Orang Nimboran sejak nenek moyang telah mengenal model pengelolaan pertanian dan menjaga keseimbangan alam serta relasi social antar kerabat. Munculnya pembentukan koperasi karena semangat bertani.

Mereka  sangat ulet dalam pertanian tanah kering dan ini jangkauannya jauh lebih tinggi dari warga tetangga mereka. Aspel inilah yang menyebabkan pemerintah Belanda melihat untuk menetapkan wilayah Nimboran sebagai wilayah masa depan pertanian.
“Melalui bantuan dari South Pasific Comission maka disepakati untuk membangun perkebunan cokelat di kawasan Nimboran  pada 1956,”tutur Alexander Griapon Kepala Litbang Kabupaten Jayapura kepada Jubi di ruang kerjanya pekan lalu.
Sejak bantuan ekonomi dari Komisi Pasifik Selatan untuk pengembangan ekonomi pertanian cokelat di Nimboran saat itulah dibentuk sebuah  koperasi Java Datum. Melalui koperasi ini semua hasil bumi dari masyarakat dibeli dan didistribusikan ke luar  Wilayah Nimboran.
Kekuatan membentuk koperasi ini berjalan karena  Orang Nimboran sejak dulu telah memiliki bakat pertanian yang sudah tertanam dan membuat kebun dan ladang yang begitu luas.”Hasil-hasil kebun itu sendiri biasanya dipakai dalam acara-acara adat di kampung,” ujar Griapon.
Namun lanjut dia hal ini menyebabkan siapa saja boleh datang dan mencicipi hasil kebun mereka dengan syarat harus meminta ijin kepada pemilik kebun terlebih dahulu.  Kemudian waktu terus  dan pembangunan mulai berkembang dari kota sehingga mereka melihat sesuatu yang berbeda, lalu ada tawaran-tawaran dari luar yang masyarakat lihat itu  begitu bagus karena bisa menghasilkan sesuatu yang berharga bagi mereka sendiri.
Masyarakat di kampung  masih mengenal ekonomi barter sebagai alat tukar dan mereka  sama sekali belum mengenal yang namanya uang sehingga mereka melakukan pertukaran hasil kebun dengan  kapak batu dan manik-manik . “Barang-barang ini sejak dulu sudah  menjadi alat tukar mereka,” tutur Griapon.
Kelompok-kelompak elit termasuk para pedagang  dulunya memakai jasa para Ondoafi untuk mencari  Burung Cenderawasih  dan menjual  di luar kampung. Akibatnya para Ondoafi mulai  melihat bahwa  ternyata di daerah lain telah berkembang  dengan sesuatu  kebutuhan-kebutuhan lain yang menghasilkan.
Ketika para Ondoafi ini kembali ke kampung dan menceritakan kepada anak-anak, maka terjadilah perubahan dalam masyarakat di kampung sehingga terciptalah lapangan pekerjaan baru. Salah satu model pekerjaan baru adalah penggergajian kayu di kampung. Masyarakat sendiri yang memulai dan sendiri mengembangkannya untuk kebutuhan  yang jauh lebih besar.
“Saat itu pemerintah bersama pakar sosiologi dan antropolog Jan Van Baal  melihat bahwa perekonomian di kampung akan bertumbuh jika potensi di kampung tersebut dikembangkan dengan memakai sistem perekonomian sosial budaya,” tutur Griapon.
Kemudian  timbullah ide untuk membuat kopersi sosial ekonomi yang di kelola masyarakat kampung sendiri, sehingga segala sesuatu yang benilai tukar akan dikelola oleh kampung itu dengan cara barter antara yang satu dengan kampung yang lain.
Misalnya  ketika kampung sebelah mengingikan sesuatu untuk dipakai dan dimakan, namun itu tidak terdapat di kampung mereka. Maka terjadilah pertukaran barang tersebut dengan cara harus melalui koperasi masyarakat sendiri.
Ide inilah yang kemudian dikembangkan Koperasi Java Datum untuk mengembangkan program perkebunan cokelat di Nimboran. Telah terjadi sebuah perubahan besar dari masyarakat yang tadinya memakai kayu atau tugal menggemburkan lahan untuk menanam sayuran dan kebutuhan lain. Kini diganti dengan sebuah traktor untuk membajak areal pertanian, masyarakat mulai mengenal mekanisasi pertanian.
Pemeirntah Belanda dengan bantuan ekonomi dari South Pasific Commision mulai membuka perkebunan cokelat di wilayah Nimboran. Komisi Pasifik Selatan dibentuk sesuai perjanjian Canberra 6 Februari 1947 untuk membangun ekonomi bagi masyarakat pribumi di Pasifik Selatan. Adapun tugas Komisi Pasifik Selatan mengambil kebijakan penting untuk membuat rencana dan mengusulkan pembangunan di bidang ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat di Pasifik Selatan.
Proyek Cokelat di Nimboran menjadi salah satu program penting guna membangun ekonomi social dan budaya karena masyarakat di sana sudah terbentuk sejak dulu. Hal ini pula yang menjadi faktor pendorong bagi pelaksanaan proyek mercu suar milik South Pasific dan pemerintah Belanda.
Perkembangan proyek cokelat  yang di kelola masyarakat secara independen tetapi pemerintah juga memiliki peran terutama Dinas Pertanian atau Landbouw  dalam memberikan pembibitan,penyuluhan dan produksi.
Pola ini jelas memberikan akses pasar bagi hasil produksi cokelat melalui Koperasi Java Datum untuk menyalurkan ke luar negeri terutama  Jerman dan Belanda (Pabrik Cokelat Van Houten). Masyarakat tak repot lagi untuk memasarkan hasil panen karena semua sudah ditangani Koperasi Java Datum.
Namun perkembangan koperasi ini menjadi terganggu ketika banyak tenaga kerja terutama kaum muda di Nimboran meninggalkan kampung halaman karena tawaran kerja di kota. Perpindahaan tenaga kerja muda ke kota menyebabkan lahan perkebunan cokelat di Nimboran terpaksa dikerjakan kaum perempuan, orang tua. Akibatnya produksinya menurun dan yang tinggal hanya operator traktor dan kaum perempuan saja.
Selanjutnya merosotnya produksi cokelat di Nimboran juga karena factor politik karena konflik perebutan wilayah Papua antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Pada 1963 hingga 1970 an semua yang berbau kolonial Belanda seakan-akan harus dibasmi di atas Bumi Nimboran. Traktor tua dan bangunan tempat pengeringan cokelat dan fermentasi menjadi saksi bisu  sisa-sisa kejayaan cokelat di Nimboran.
Meski pun Irian Jaya Joint Development Foundation (IJJDF) mencoba melakukan pembangunan kembali perkebunan cokelat dan juga peternakan sapi. Tapi tak bertahan lama hanya sepuluh tahun saja program tersebut berjalan. Pendampingan dan banyak  program telah dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat termasuk individu dan elit-elit di kampung.
Tak heran kalau Decky Rumaropen Direktur YPMD-Papua pernah mengingatkan berbagai pihak untuk memberlakukan satu pintu dalam melaksanakan sebuah program pemberdayaan bagi masyarakat di kampung. Pasalnya ketika banyak program masuk ke kampung dan masyarakat tinggal menerima saja maka saat itulah telah tercipta saling ketergantungan. Bisa juga menimbulkan ketergantungan baru bagi masyarakat di kampung. Minimal jangan memberikan janji tetapi cobalah berusaha dengan kekuatan yang dimiliki masyarakat.
Pemerintah Belanda yang pertama kali mengembangkan perkebunan cokelat dengan bantuan traktor pembajak lahan untuk menyiapkan tanaman cokelat bertumbuh dan dikelola. Kini traktor sudah tidak berfungsi kembali alias rusak dimakan usia. Bersamaan dengan itu masuklah program pertanian baru tetapi bukan lagi traktor tetapi pembagian cangkul dan sekop. Masyarakat yang tadinya memakai tugal atau kayu guna menggemburkan tanah sudah merasa tidak asing lagi memakai sekop.
Namun Lodewijk Hembring Sekretaris Kampung  sedikit bercanda dulu jaman nenek moyang kitorang pakai tugal untuk menggemburkan tanah. “Belanda datang bawa traktor ke kampung dan kebun-kebun  cokelat mulai bertumbuh,”tutur Hembring. Anehnya lagi lanjut anak Johanes Hembring, bekas pengurus Koperasi Java Datum ini Belanda pergi dan pemerintah Indonesia datang bagi bibit untuk masyarakat.
“Pemerintah juga berikan pacul dan sekop padahal masyarakat sudah pernah memakai traktor,”ujar Hembring menggugat.
Bukan berarti traktor sudah tidak ada di kampung dan produksi cokelat ikut sirna tetapi yang terpenting di sini bagi Hembring adalah masyarakat masih bisa bertahan hidup dan semangat kerja masih ada. “Mungkin kitorang hanya pakai cangkul dan tugal untuk bertahan hidup demi masa depan anak-anak kami,”harap Hembring.
Masyarakat tak menyangkal cokelat sampai sekarang masih jadi primadona, walau tak seindah waktu dulu. Semuanya kembali kepada kondisi di lapangan dan para pedagang pengumpul masih tetap eksis menentukan harga di pasaran. Sementara masyarakat pemilik kebun hanya pasrah terima keadaan dan melepaskan masa kejayaan traktor dan kembali memakai tugal.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar