Senin, 14 Januari 2013

Kenangan Cokelat di nimboran



















Rumah Pengering Cokelat Peninggalan Belanda di Distrik Nimboran. (JUBI/Foto : Saut Marpaung

Jubi---Semangat menanam cokelat masih ada, tetapi tak sebanding dulu, di era Belanda:   bekerja dan tinggal memetik hasil keringat sendiri.  

Awak  Jubi, Selasa 2 Februari berangkat  dari Kota Jayapura menuju Genyem, ibukota Distrik Nimboran. Perjalanan   hanya membutuhkan waktu satu setengah jam. Jalan beraspal dan berkelok-kelok memberikan gambaran keseriusan pemerintah untuk membuka isolasi daerah yang sulit dan mudah dijangkau dengan transportasi  darat.
Jalan Nimboran, Nimbotong dan sekitarnya kini merupakan  jalan utama menuju Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura bagi warga dari Demta, Kaureh hingga ke Distrik Bonggo,  Kabupaten Sarmi.
Di zaman penjajahan Belanda, transportasi ke wilayah Nimboran sulit, hanya berjalan kaki dan  menggunakan pesawat udara. Biasanya dari Borowai masyarakat berjalan menuju Kampung Mamda Besar, selanjutnya ke Genyem.
“Karena saya bersama keluarga, kami berjalan dua hari,”tutur TS Boekorsjom dalam  buku Bakti Pamong Praja Papua, karya Leontine E Visser dan Amapon Jos Marey.
Waktu itu, untuk transportasi  Danau Sentani hanya diandalkan sebuah Kapal feri yang menghubungkan Yoka Borowai.
Meski transportasi sulit dan tak selancar sekarang, tugas-tugas untuk melakukan turne atau berkunjung ke kampung-kampung di wilayah Nimboran tetap berjalan lancar.
“Bistir Boekorsjom selalu berjalan ke kampung-kampung hampir selama sebulan,”tutur Lodwijk Hembring, Sekretaris Kampung Gmebs, Distrik Nimboran mengenang kerja keras para bestir (pamong praja) zaman Belanda.
Selain hanya “menggunakan kaki sendiri,” ada penerbangan pesawat jenis Dakota secara rutin mendarat ke Genyem.  Lapangan terbang Genyem sekarang tinggal  kenangan; ditumbuhi semak dan belukar liar, bersamaan nasibnya dengan tanaman cokelat peninggalan kolonial. 
Semangat menanam cokelat tak secerah ketika wilayah Lembah Grime, Distrik Nimboran, masih di bawah kekuasaan pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea.
Orang-orang tua masih mengenang masa kejayaan cokelat di bawah pengelolaan Koperasi Java Datum. Kerja keras yang tinggi, yang ditopang  pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea, menghasilkan panenan cokelat yang  menguntungkan.
Hengkangnya Belanda  dari Nieuw-Guinea seolah ikut  menghapus sisa-sisa kejayaan perkebunan rakyat. Sulit  mengulangi  jaman keemasan cokelat.
“Kami seperti ingin kembali di jajah  Belanda,”keluh  Nehemia Iwong, warga Kampung Kuipons, Distrik Nimboran. Keluhan Nehemia, bukan mungkin tidak mengada-ada.  Sejak masih Nederlands Nieuw-Guinea,  warga Nimboran sudah menggunakan traktor  dan bajak dalam rangka mekanisasi perkebunan. Dengan alat-alat itu, mereka membuka lahan-lahan perkebunan yang kemudian  bibit-bibit cokelat asal Amazon, Brasil.
Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan untuk investasi tanaman cokelat bagi kepentingan bisnis pabrik cokelat Van Houten di negara induk.
Pengerjaan cokelat, yang berpusat di Kampung Sarmaikrang, dilakukan sendiri oleh orang-orang Nimboran.  Mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemetikan   hasil, fermentasi dan pengasapan.
Sebelum diekspor, sampel hasil panen akan dikirim ke Belanda untuk dicek kualitasnya. “Kalau bagus,  langsung diekspor ke Belanda dan Jerman,”cerita Nehemia Iwong.
Memang kualitas cokelat Nimboran pada masa itu  tidak diragukan. Ada tiga jenis cokelat yang diberikan Dinas Pertanian   Nederlands Nieuw-Guinea. Antara lain,  forastero, kliolo dan amazon. Jenis  cokelat di Nimboran kebanyakan berasal dari Afrika, wilayah sesama jajahan Belanda.  “Jenis cokelat Zansibar juga didatangkan dari daerah itu,” tutur Alexander Griapon, Kepala Badan Penelitian Kabupaten Jayapura.
Jenis-jenis peninggalan Belanda sampai sekarang masih tumbuh, tapi sudah tak terawat lagi.  Lokasi perkebunan dulu sudah berwujud  semak-belukar.  Pohon cokelat yang masih tersisa pun bertumbuh semakin tinggi 
Walau warga setempat masih menanam untuk kebutuhan sehari-hari.
Buah cokelat jenis forastero, kliolo dan amazon memanjang menyerupai buah papaya. Ada yang  kuning dan  merah. Hasilnya tak kalah dari jenis cokelat hibrida sekarang.
Untuk menghasilkan satu kilogram, cukup enam hinggia delapan buah cokelat “Belanda,” dibanding cokelat hibrida  yang  harus 12 buah. 
Perawatan jenis hibrida pun cukup merepotkan,  mulai dari pemupukan hingga perawatan. Sudah itu, jenis ini rentan hama dan tidak bertahan lama. Kelebihannya,  bisa panen berulang-ulang.  Yang penting mengatur rotasi tanam hingga peremajaan tanaman tetap terjaga.
Pemerintah Kabupaten Jayapura, melalui Dinas Pariwisata, mulai mencoba membangun gedung “Museum Perkebunan Cokelat Nimboran” untuk mengawetkan sisa-sisa traktor dan alat-alat pertanian peninggalan yang masih ada.  
Hal ini mungkin penting untuk mengingatkan warga  memelihara semangat kerja, seperti masa lalu.
Zaman terus berayun ke depan. Museum alat-alat dan mesin bajak peninggalan pemerintahan Belanda tak serta merta memulihkan semangat lama menanam cokelat. Sesuai harapan  pemerintah Kabupaten Jayapura. Walau tanaman ini harus menjadi  primadona ekonomi keluarga. Bahkan sebagai bagian symbol kekayaan untuk jaminan sebagai mas kawin. Kalau hendak meminang anak perempuan dari kampung lain minimal harus punya kebun cokelat, ternak  sapi dan juga ternak babi. “Ya cokelat masih jadi dewa Orang-orang di Nimboran,”tukas Nehemia Iwong seraya menambahkan meski harganya selalu berubah-ubah tapi masih ada semangat untuk tetap bertahan hidup dengan menjual hasil panen cokelat rakyat. Memang diakui beberapa kali koperasi milik masyarakat Nimboran berusaha untuk menembus pasaran sendiri dan menampung hasil bumi rakyat tapi sulit. Terpaksa kembali mengikuti kemauan pasar dan sistem yang telah dibangun para pedagang. Mulai dari pedagang pengumpul sampai ke penjualan di kota dan mengirimnya langsung ke Makassar dan juga Surabaya.
Mestinya harus ada perusahaan daerah  milik pemerintah yang tetap menjaga keseimbangan harga sehingga para pedagang dan tengkulak tak bisa menentukan harga seenaknya. Masyarakat me -mang sebagai pelengkap menderita hanya tinggal mengikuti kemauan si pembeli. Pasalnya kebutuhan-kebutuhan sehari-hari sangat mendesak dan perlu dana secepatnya sehingga cokelat bisa jadi jalan keluar untuk menjawabnya.
Namun yang jelas perlu ada peningkatan produksi agar tidak hanya sekadar menanam dan meninggalkannya tumbuh sendiri.
Perlu perawatan dan pengetahuan teknis yang memadai agar terus eksis sebagai petani cokelat. Pengetahuan bercocok tanam memang bukan saja datang begitu saja tetapi perlu pendampingan terutama peran petugas pekerja lapangan (PPL) pertanian maupun peternakan. Memang pemerintah telah menyediakan banyak tenaga PPL di setiap Distrik dan kampung-kampung untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Tapi hanya sedikit tenaga PPL  yang merasa terpanggil untuk menularkan ilmu bertaninya kepada masyarakat. Atau memang masyarakat sendiri yang kurang mampu menyerap ilmu tentang bertani dan beternak.
“Memang ada tenaga PPL tetapi mereka lebih banyak turun ke kota,”tutur salah seorang warga yang enggan menyebut namanya. Bahkan dia menambahkan begitu pula dengan tenaga pendamping program Respek di Kampung juga jarang di lapangan. “Kalau pun di lapangan hanya untuk membuat laporan dan setelah laporan rampung petugas pendamping kembali tinggal di kota,”tutur Lodewijk Hembring Sekretaris Kampung Gmebs. Dia mengakui di Kampung Gmebs juga menerima dana pendampingan dari Pemerintah Provinsi Papua melalui Program Respek sebesar Rp 100 juta dan pemerintah Kabupaten
Jayapura senilai Rp 150 juta. Jadi kalau ditotalkan setiap Kampung di Distrik menerima dana pendampingan sejumlah Rp 250 juta. Sampai kapan pemberian dana-dana ini berlangsung perlu ada batas waktu sehingga ketika dana tersalurkan tentunya harus ada usaha mandiri. Jangan sampai pemberian dana terhenti dan aktifitas pun ikut berimbas serta masyarakat tetap hidup tanpa perubahan berarti. Ibarat mengikuti keinginan si pemberi program kalau masyarakat disuruh tanam cokelat semua ramai-ramai tanam cokelat sambil menunggu turunnya dana-dana pendampingan. Sebaiknya perlu jalan keluar agar ketergantungan terhadap bantuan secara perlahan harus berkurang dan akhirnya melahirkan kemandirian masyarakat sendiri. Jika tidak semuanya akan dianggap sunyi dan angin lalu serta sekadar untuk bertahan hidup semata.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar